NAD | IP.net — Semua orang pasti kenal dengan Aceh, selain pasca sejarah konflik yang berkepanjangan antara Aceh dan Republik Indonesia pada beberapa tahun silam, juga peristiwa lainnya di daerah yang berjulukan tanah rencong itu pernah menyisakan duka mendalam di hari Minggu pagi 26 Desember 2004.
Sebanyak 227.898 orang meninggal dunia dalam bencana besar Gempa dan Tsunami yang pernah meluluhlantakkan beberapa tempat wilayah bagian provinsi yang terletak di ujung pulau Sumatera itu sehingga menjadikan Aceh cukup dikenal dimata dunia. Aceh pula salah satu Provinsi yang dikenal sangat kental dengan adat istiadat dan dengan kekayaan alamnya.
Banyak hal yang belum diketahui dari Aceh, provinsi tersebut seolah-olah menyimpan banyak misteri story tentang Aceh, bukan hanya masyarakat luar Aceh yang tertarik untuk mengetahui lebih banyak tentang Aceh, bahkan masyarakat Aceh sendiri pula banyak yang masih ingin mencari tahu lebih dalam lagi untuk memecahkan misteri perihal asal mula nama Aceh dan bahasa Aceh.
Dikutip dari beberapa sumber, diantaranya dari YouTube dan Website. Asal mula nama Aceh, konon katanya nama Aceh merupakan singkatan dari Arab, Cina, Endia (India), Hindia Belanda. Akan tetapi singkatan-singkatan ini tampaknya tidak memiliki sumber yang jelas dan hanya merupakan spekulasi belaka.
Sebenarnya berkaitan dengan nama Aceh ini banyak ahli sejarah yang telah melakukan penelitian, salah satunya yang tertarik meneliti tentang Aceh seorang ahli Asia terkemuka, yaitu Denys Lombard, pria kelahiran Tahun 1938 di Marseilles, Prancis. Berkaitan dengan nama “Aceh”, Lombard menyebutkan bahwa nama Aceh baru disebut dengan pasti sekali dalam Suma Oriental yang dikarang di Malaka sekitar tahun 1950 oleh Tome Pires yang berkebangsaan Portugis, Lombard dalam bukunya mengatakan bahwa kata “Aceh” dieja “Achei”. Beberapa tahun kemudian dalam buku yang ditulis oleh Barros yang berjudul “Da Asia” disebutkan bahwa pengejaan kata “Aceh” dengan “Achei” telah mengalami perubahan yang berbentuk adanya Penyengauan bunyi pada akhir kata yaitu “Achem”.
Penyengauan bunyi ini juga terdapat dalam naskah-naskah Eropa pada abad ke 16, 17 dan 18 di dalam naskah-naskah Eropa pada abad abad ini kata “Aceh” dieja “Achin” dan “Atchin”, dalam sistem transkripsi ilmiah yang dikemukakan oleh L.c Damais bahwa kata “Aceh” ditulis “Acih”. Lombard mengungkapkan bahwa penulisan kata “Aceh” dengan “Acih” adalah penulisan yang sangat tepat jika ditinjau secara ilmiah.
Dalam hal ini Lombard memberikan alasan sebagai berikut, sesuai dengan sistem transkripsi ilmiah yang dikemukakan oleh L.c Damais, penulisan kata “Aceh” lebih tepat ditulis “Acih”, menurut Lombard bahwa penulisan ini memang yang paling baik mengungkapkan ucapannya dewasa ini pada setiap fonom dicatat dengan satu huruf saja dan huruf “I” lebih baik daripada huruf “E”, adalah huruf hidup kedua yang ucapannya dengan mendekati huruf “I”.
Selanjutnya sekitar akhir abad ke-19 menjelang peperangan yang bakal menumpahkan darah di seluruh bagian Utara Sumatera, nama tanah Aceh dipakai untuk menunjukkan seluruh daerah yang membentang dari ujung utara pulau itu sampai dengan suatu garis khayal yang menghubungkan Tamiang di pantai timur dengan Barus di pantai barat. Menurut Snouck Hurgronje, penduduknya membandingkan bentuk wilayah mereka yang kira-kira menyerupai segitiga itu dengan bentuk jeu-ee (tampah tradisional-Red).
Dalam perkembangan penulisan selanjutnya, “Aceh” sering pula ditulis “Atjeh”. Jika dikaitkan dengan sejarah perkembangan ejaan, penulisan seperti itu tentu saja merujuk pada ejaan lama, tepatnya ejaan van Ophuysen (1901-1947). Dalam ejaan ini, yang mewakili huruf “C” seperti yang digunakan sekarang adalah “TJ”. Jadi, untuk menyebutkan kata “cara”, misalnya, dalam ejaan lama ditulis “tjara”.
Selain misteri tentang nama Aceh, Provinsi ini juga masih menyimpan misteri perihal asal mula bahasa Aceh. Banyak peneli telah melakukan penelitian, dengan hasil penelitian mereka menyebutkan bahwa bahasa Aceh ada kaitannya dengan bahasa – bahasa Campa yang sampai sekarang ini masih digunakan di Vietnam, Kamboja dan Hainan di China. Adanya hubungan bahasa Aceh dengan bahasa – bahasa Campa yang ada di Vietnam, Kamboja dan Hainan tampaknya cukup beralasan.
Berdasarkan catatan sejarah seorang pangeran dari Campa, Sah Pu Lian, yang diusulkan dari ibukotanya oleh bangsa Vietnam, ia mencari perlindungan di Aceh, lalu Sah Pu Lian membentuk wangsa baru di Aceh. Tentu saja pembentukan wangsa baru sangat berpengaruh terhadap pemakaian bahasa Aceh sebagai alat komunikasi mereka, namun ada juga para ahli yang menyebutkan bahwa bahasa Aceh ada kaitannya dengan bahasa-bahasa lainnya, seperti bahasa Arab, Melayu, Persia, Tamil, Belanda, Portugis, Inggris dan dari bahasa mongkehme Asia tenggara.
Dari sejarah-sejarah tersebut membuktikan bahwa Aceh semenjak dahulu sudah memiliki hubungan dengan bangsa-bangsa luar, hal ini tentu saja tak dapat dipungkiri apalagi jika kita mengingat Aceh yang pada masa Sultan Iskandar Muda pernah mencapai puncak kejayaannya.
Komentar